1. Sakit
Bila salah satu pasangan menderita suatu penyakit yang serius atau kronik, maka hal ini dapat mengubah hubungan mereka secara keseluruhan. Penyakit menciptakan timbulnya rasa hutang budi, sakit, dan bahkan jati dirinya. Hal ini berarti bahwa salah satu pihak tidak dapat menjalankan perannya sebagaimana mestinya, yang membuat pasangannya harus melakukan kedua peran tersebut. Beberapa pasangan dapat menangani hal ini dengan lebih baik dibandingkan dengan pasangan lainnya.
Sebuah penelitian dari Iowa State University menemukan bahwa angka perceraian akan meningkat sekitar 6% bila sang istri menderita suatu penyakit seperti kanker, gangguan jantung, atau gangguan paru. Akan tetapi, angka perceraian tidak mengalami peningkatan bila sang suami yang menderita sakit.
Hal ini berarti bahwa seorang pria mungkin lebih sulit mengurus berbagai pekerjaan rumah tangga yang biasa dikerjakan oleh sang istri, akan tetapi hal ini sebenarnya tergantung pada bagaimana pembagian kerja pada tiap rumah tangga.
2. Perubahan Pekerjaan
Sebuah penelitian yang dilakukan di Ohio State University pada tahun 2011 menemukan bahwa pria yang tidak memiliki pekerjaan cenderung lebih sering meninggalkan istrinya dan juga lebih sering ditinggalkan oleh istrinya. Kehilangan pekerjaan tentu saja akan membuat kedua belah pihak mengalami stress mengenai masalah keuangan, keamanan, dan tanggung jawab yang dapat berakhir pada perceraian akibat ketidakpuasan kedua belah pihak.
Sebenarnya, tidak hanya kehilangan pekerjaan yang dapat membuat sepasang suami istri tidak bahagia. Berbagai hal yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam status keuangan, jadwal kegiatan harian, atau pembagian waktu dapat menyebabkan timbulnya masalah pada kehidupan pernikahan seseorang, termasuk saat salah satu atau kedua belah pihak menerima pekerjaan baru yang membutuhkan tanggung jawab lebih (lebih sibuk).
Oleh karena itu, pastikan Anda tidak menjadikan pernikahan dan hubungan dengan pasangan Anda sebagai hal kedua setelah pekerjaan karena pasangan Anda mungkin akan merasa marah, tidak dihargai, dan kesepian.
3. Memiliki Anak
Anda tentunya pernah mendengar mengenai kisah perceraian sepasang suami istri karena salah satu pihak menginginkan kehadiran seorang anak, sedangkan yang lainnya tidak. Akan tetapi, bukan berarti memiliki pandangan yang sama mengenai anak akan mempermudah kehidupan pernikahan Anda saat seorang anak benar-benar telah hadir di tengah-tengah Anda dan pasangan.
Membesarkan dan merawat seorang anak bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Pada sebuah penelitian, para peneliti menemukan bahwa sekitar 67% pasangan yang telah menikah mengalami penurunan rasa puas dan bahagia dalam kehidupan pernikahannya dalam waktu 3 tahun pertama setelah memiliki anak.
Memiliki anak dapat menimbulkan rasa stress dan menciptakan berbagai permasalahan dalam kehidupan pernikahan. Kemauan kedua belah pihak untuk saling berkompromi, berkomunikasi secara terbuka, dan kepribadian setiap pasangan turut menentukan bagaimana mereka mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi.
Seseorang yang memang telah menderita gangguan cemas atau depresi mungkin akan merasa lebih sulit untuk menyesuaikan diri pada lingkungan baru (telah memiliki anak), karena berbagai gangguan ini akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjadi orang tua dan beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi di dalam hubungan asmara mereka.
Pada sebuah penelitian, para peneliti menemukan bahwa pasangan yang memiliki anak perempuan sebagai anak pertamanya lebih sering bercerai dibandingkan dengan pasangan yang memiliki anak laki-laki sebagai anak pertamanya.
Akan tetapi, sebuah penelitian lainnya yang dilakukan di Duke University pada tahun 2014 menemukan bahwa bukan jenis kelamin anak yang memicu terjadinya perceraian, tetapi karena anak perempuan lebih dapat menghadapi berbagai stress yang terjadi pada sebuah pernikahan yang bermasalah dibandingkan dengan anak laki-laki (lebih tidak mudah mengalami keguguran).
4. Tinggal Terpisah
Sebuah penelitian di tahun 2013 yang mempelajari keluarga militer menemukan bahwa resiko perceraian di antara para tentara memiliki hubungan langsung dengan berapa lama waktu yang mereka habiskan saat bertugas di lapangan.
Para veteran perang tidak hanya harus menghadapi perpisahan yang lama dengan pasangannya saat sedang bertugas tetapi juga harus beradaptasi dengan kehidupannya sebagai warga negara dan mungkin mengalami gangguan stress paska trauma saat mereka kembali dari tugas mereka di medan perang.
Selain itu, pasangan suami istri yang memutuskan untuk tinggal terpisah untuk sementara waktu karena berbagai alasan lain seperti pekerjaan atau urusan keluarga, mungkin tidak mengalami masalah yang sama dengan di atas, tetapi perpisahan ini tetap akan mengganggu kehidupan pernikahan mereka.
Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda untuk beradaptasi dengan hubungan jarak jauh. Jika kedua belah pihak merasa nyaman hidup terpisah, maka hal ini mungkin tidak akan menimbulkan masalah apapun dalam kehidupan pernikahan mereka.
Akan tetapi, bila salah satu atau kedua belah pihak tidak sependapat karena merasa takut akan ditinggalkan atau karena tidak dapat mempercayai pasangannya atau takut pasangannya berselingkuh; maka tinggal terpisah atau berjauhan dapat mengganggu kehidupan pernikahan mereka.
5. Trauma
Pasangan yang mengalami suatu peristiwa traumatis bersama dapat memiliki hubungan yang lebih kuat atau justru saling menjauhi satu sama lain. Kadangkala, seseorang harus melupakan berbagai pengalaman menyakitkan tersebut dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya untuk sembuh.
6. Telah Lama Menikah
Sekarang ini, Anda mungkin telah banyak mendengar banyak pasangan yang telah lama menikah justru tiba-tiba ingin bercerai. Pada kenyataannya, pada tahun 2013 banyak orang dewasa yang telah berusia 50 tahun atau lebih memilih untuk bercerai dari pasangannya. Hal ini mungkin dikarenakan mereka tidak lagi merasakan adanya rasa cinta atau ketertarikkan terhadap pasangannya.
7. Perselingkuhan
Perselingkuhan memang merupakan salah satu alasan yang paling sering menjadi penyebab terjadinya suatu perceraian. Akan tetapi, kadangkala perselingkuhan justru dapat “menemukan” apa sebenarnya masalah yang ada di dalam suatu pernikahan, jika kedua belah pihak mau berusaha untuk memperbaiki dan mempertahankan pernikahan merkea.
Hal ini dikarenakan perselingkuhan seringkali merupakan alasan mengapa sepasang suami istri mencari bantuan dari seorang tenaga ahli dan justru menemukan bagaimana caranya kembali berkomunikasi dengan pasangannya.
Akan tetapi, perselingkuhan juga dapat menjadi penyebab dari berakhirnya pernikahan sepasang suami istri. Hal ini dapat terjadi bila perselingkuhan yang terjadi telah berlangsung terlalu lama atau telah melibatkan perasaan yang cukup dalam yang membuat salah satu pihak kesulitan menerima kenyataan ini.
Baca juga: Tahukah Anda Bahwa Wanita Ternyata Lebih Sulit Menerima Perceraian?
Sumber: foxnews